Senin, 11 April 2016



Bripka Muhammad Taufik Hidayat di depan rumahnya. Ia dan keluarga tinggal di bangunan yang sebelumnya kandang sapi.
Yogyakarta, Kompas.com – “Bapak tampar pipi saya. Ini bukan mimpi toh. Saya benar diterima menjadi polisi”. Itulah kata-kata pertama yang keluar dari mulut Bripda M Taufik Hidayat kepada ayahnya, Triyanto, saat pertama kali tahu kalau dia lulus menjadi calon anggota polisi.
Kata-kata itu bukanlah tanpa alasan. Sebab, meski dengan segala keterbatasan ekonomi, pemuda kelahiran 20 Maret 1995 ini perlu berjuang keras untuk dapat meraih cita-citanya menjadi anggota kepolisian. Terlahi dari keluarga tidak mamu, sejak kecil M Tufik Hidayat sudah terbiasa kerja keras untuk meraih apa yang diinginkannya.
Pendapatan Triyanto yang hanya sebagai buruh bangunan terbilang pas-pasan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Belum lagi untuk membiayai sekolah Taufik dan ketiga adiknya. Tak jarang, Taufik harus menunggak biaya sekolahnya karena tak punya biaya.
Karena itu, demi dapat menyelesaikan sekolahnya dan membantu keuangan keluarga, Taufik rela ikut bekerja sebagai tukang gali pasir di Sungai Gendol.
“Saya bantu bapak menambang pasir di Sungai Gendol. Ya untuk biaya hidup dan biaya sekolah saya dan adik-adik”.
Menunda Mimpi
Lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), anak pertama dari empat bersaudara ini pun harus menahan cita-citanya mendaftar menjadi anggota kepolisian. Kebutuhan ekonomi memaksanya untuk bekerja di bekas sekolahnya, SMK 1 Sayegan, sebagai pembina Pramuka merangkan asisten perpustakaan.
“Honor saya dar pembina Pramuka dan asisten perpustakaan sekitar Rp 700.000” tuturnya.
Pada awal Desember2014 lalu, Taufk memutuskan untuk tidak melanjutkan pekerjaan di SMK 1 Sayegan. Ia membulatkan tekadnya untuk mendaftar menjadi calon anggota polisi di Mapolda DIY. Berkat kerja keras dan doa sang ayah, pada akhir Desember 2014Taufik lulus dari tes Calon Anggota Polisi dan mengikuti pendidikan di Sekolah Polisi Negara Selopamioro, Imogiri, Bantul.
“Saya tidak percaya, sampai minta bapak menampar pipi. Bahkan saat di gerbang SPN saya masih tidak percaya” ujar Taufik sambil tersenyum ketika mengingat satu fragmen dalam hidupnya.
Setelah lulus dengan pangkat Bripda, Taufik menjalani karier pertamanya di Direktorat Sabhara Polda DIY. Namun, lagi-lagi karena tidak punya biaya dan kendaraan, setiap pagi saat berangkat dinas, Bripda M Taufik harus rela berjalan kaki sekitar 7 kilometer dari rumahnya di Dusun Jongke Tengah RT 04 RW 23 Desa Sendangadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, menuju Mapolda DIY.
“Bangun subuh, salat, lalu jalan kaki ke Mapolda DIY. Kadang kalau pas ketemu teman ya bonceng” tuturnya.
Diakuinya, meski telah bangun subuh, tetapi dirinya sering terlambat masuk dinas. Keterlambatan itulah yang menuai kecurigaan dari atasannya. Setelah memberikan penjelasan dan mengecek kebenaran itu, atasan Bripda Taufik lantas meminjamkan motor pribadinya. “Sekarang saya dipinjami motor Pak Wadir Sabhara” ucapnya.
Hidup prihatin
Seperti bola tenis, ketika dilempar dengan keras ke tanah maka lentingannya akan lebih tinggi keatas. Seperti itulah tekad Bripda Taufik. Pahit getir dan kerasnya kehidupan yang dijalani anggota Sabhara Polda DIY sejak kedua orangtuanya bercerai menjadi kekuatan untuk melenting lebih tinggi.
Saat duduk di bangku SMP, Bripda Taufik harus menerima kenyataan pahit. Kedua orangtuanya bercerai. Rumah satu-satunya pun dijual oleh sang ibu.
Alhasil, Bripda Taufik bersama adiknya harus pindah rumah. Namun, karena uang tidak mencukupi untuk membeli rumah, Triyanto selaku ayah memutuskan untuk mengontrak bekas kandang sapi di dusun Jongke Tengah. Kandang sapi itu kemudian dialihfungsikan sebagai tempat tinggal.
“Per bulan bayar Rp 170.000. Ya memang seperti itu kondisinya. Lantainya masih tanah” ucap Triyanto.
Rumah semipermanen berukuran 2,5 m x 5 m kondisinya memang memprihatinkan. Bahkan karena belum ada biaya, daun pintu dan dinding sisi utara dibiarkan terbuka. Untuk mengurangi embusan angin udara malam dan tetesan air hujan, terpaksa pintu dan sisi yang masih terbuka ditutup dengan menggunakan spanduk-spanduk bekas.
Sekeliling bangunan yang ditempati Bripda Taufik pun merupakan kandang sapi yang dikelola kelompok masyarakat setempat sehingga bau menyengat kotoran sapi harus dirasakannya.
Di dalam rumah semipermanen itu hanya ada dua kasur tempat tidur. Dua kasur dengan kondisi berlubang itu dipakai oleh lima orang, yaitu tiga adiknya, ayah, dan dirinya. Bahkan, ketika Bripda Taufik tidur di rumah, Triyanto mengalah untuk tidur di mobil pikap beralaskan tikar dan beratap langit.
“Saya senang kalau piket dan tidak pulang. Soalnya kasihan bapak kalau tidur di luar. Bapak sering mengalah tidur di bak mobil” kata Taufik.
Melihat keadaan itu, di gaji pertamanya menjadi anggota kepolisian, Taufik berencana menggunakannya untuk mengontrak rumah lebih layak. Ini dilakukan demi ayah dan ketiga adiknya yang masih kecil-kecil.
“Nanti kalau gajian pertama, saya ingin gunakan untuk mengontrak rumah. Kasihan bapak dan adik-adik kalu tetap tinggal disana” tuturnya.


Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

  • Blogger news

  • Blogroll

  • About